Perspektif

Pembangunan Maluku Utara untuk Siapa?

×

Pembangunan Maluku Utara untuk Siapa?

Sebarkan artikel ini
A. Malik Ibrahim
Oleh : A. Malik Ibrahim
(Dewan Pakar KAHMI Malut)

“Negara yang menjual konsesi tambang dengan royalti rendah dan aturan pengelolaan lingkungan yang tak memadai boleh jadi mengalami kenaikan PDB, namun kesejahteraan menurun.” (Stiglitz, Sen dan Fitoussi, 2011).

HARI ini, kita semua akan menjawab satu pertanyaan mendasar : “pembangunan Maluku Utara untuk siapa?” Ini bukan sekadar pertanyaan retoris semata. Pertanyaan ini adalah pintu masuk untuk menilai siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan siapa yang disisihkan dalam arus besar pembangunan yang hari ini menjadikan Maluku Utara, provinsi yang kita cintai bersama sebagai salah satu pusat ekspansi industri ekstraktif di Indonesia Timur.

Dengan narasi pertumbuhan ekonomi sebagai pembenaran, pembangunan kerap diproyeksikan sebagai jalan tunggal menuju kemajuan. Namun, sebagaimana diingatkan James Ferguson (1994), pembangunan acapkali berfungsi sebagai “mesin anti-politik”, ia menutupi relasi kekuasaan dibalik proyek-proyek ekonomi, membuat eksploitasi tampak netral, bahkan seolah tak terelakkan.

Maluku Utara dalam Bayang-bayang Ekstraktivisme

Sejak satu dekade terakhir, Maluku Utara menjadi wajah baru industri nikel dunia. Kawasan-kawasan seperti Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, hingga Pulau Obi berubah drastis dalam waktu singkat. Kehadiran smelter dan zona industri seperti Weda Bay Industrial Park (IWIP), Harita, Antam, dan puluhan industri ekstraktif lainnya, termasuk PT. Karya Wijaya, dipromosikan sebagai bukti bahwa Maluku Utara bergerak menuju modernitas. Namun, basis pembangunan yang bertumpu pada ekstraktivisme membuat masyarakat lokal berada dalam posisi rentan, baik ekologis, sosial, maupun ekonomi.

Kondisi ini, dalam kajian pembangunan dikenal sebagai accumulation by dispossession, akumulasi kapital melalui peminggiran. Di Maluku Utara, model ini terlihat dalam cara ruang hidup masyarakat diambil untuk tambang, tanah ulayat dialihkan menjadi konsesi industri, dan lingkungan didegradasi atas nama pertumbuhan nasional. Di sinilah pertanyaan “pembangunan untuk siapa?” menemukan urgensinya : keuntungan mengalir ke pusat dan investor global, sementara beban ekologis, sosial, dan kesehatan ditanggung masyarakat setempat.

Secara statistik, laju pertumbuhan ekonomi Maluku Utara memang tinggi. Namun, sebagaimana dicatat Amartya Sen (1999), pertumbuhan tidak otomatis menghasilkan expansion of freedoms. Di Halmahera Tengah misalnya, pertumbuhan ekonomi didorong industri nikel, tetapi tidak seluruh rumah tangga menikmati peningkatan kesejahteraan. Banyak desa tetap sangat bergantung pada sektor primer
tradisional, sementara biaya hidup meningkat akibat industrialisasi.

Lebih jauh, perkembangan industri juga menghadirkan beban baru: konflik agraria, perubahan pola nafkah, sumber pangan yang tercemar, pergeseran budaya, dan kerentanan kesehatan akibat polusi. Laporan WALHI (2023) memperlihatkan bahwa peningkatan kawasan industri di Maluku Utara berkorelasi dengan kenaikan potensi pencemaran air dan degradasi pesisir. Artinya, ada masyarakat yang “membayar” pembangunan dengan kehilangan ruang hidup, kesehatan, dan kedaulatan ekologinya. Sementara pembangunan, sebagaimana dikritik kelompok pemikir kritis, acap dibentuk oleh bahasa dominan negara dan korporasi yang mendefinisikan kemajuan secara tunggal : industrialisasi, investasi, dan pertumbuhan.

Di Maluku Utara, hal ini tampak dari bagaimana kebijakan daerah dan nasional secara konsisten memberi ruang besar bagi investasi tambang, sementara wacana pembangunan alternatif dan diversifikasi, seperti perikanan, kelautan, agrikultur berkelanjutan, ekonomi pulau yang restoratif, kurang mendapat prioritas oleh Pemerintah Maluku Utara.

Ketimpangan kuasa ini membuat masyarakat lokal tidak berada dalam posisi menentukan arah pembangunan. Partisipasi publik acapkali formalitas administratif, bukan ruang deliberatif. Dalam banyak kasus, masyarakat baru mengetahui perubahan tata ruang setelah proyek berjalan. Ini mencerminkan apa yang disebut ilmuwan Nancy Fraser (2000) sebagai misrecognition, ketidakadilan akibat tidak diakuinya suara kelompok tertentu.

Pembangunan yang Meminggirkan Identitas

Maluku Utara adalah provinsi kepulauan, di mana masyarakat hidup berabad abad melalui perikanan tradisional, pelayaran, pertanian rempah, dan hubungan ekologis yang intim dengan laut. Model pembangunan industri berat yang berdiri di atas daratan luas sesungguhnya bertentangan dengan karakter pulau kecil. Beberapa ahli pernah mengingatkan, bahwa ketika pembangunan memaksa masyarakat mengikuti logika kapital, ia mencabut mereka dari ritme ekologis dan kulturalnya. Pertanyaan “pembangunan untuk siapa?” menjadi semakin relevan ketika proses pembangunan justru merusak basis ekologis yang menjadi fondasi utama kehidupan masyarakat kepulauan. Tanpa laut yang sehat, tanpa hutan yang lestari, dan tanpa tanah yang aman, masyarakat kehilangan bukan hanya ruang penghidupan
tetapi juga identitasnya.

Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut, Maluku Utara membutuhkan model pembangunan alternatif yang berpihak pada warga dan ekologi. Setidaknya terdapat tiga langkah penting :

Pertama, redistribusi kuasa dalam perencanaan pembangunan. Masyarakat harus menjadi subjek, bukan objek. Mekanisme persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan harus dijalankan secara substansial, bukan formalitas.

Kedua, diversifikasi ekonomi berbasis laut dan pulau. Perikanan berkelanjutan, pengolahan hasil laut, dan ekonomi kreatif maritim dapat menjadi fondasi jangka panjang yang lebih ramah ekologis.

Ketiga, ekologi sebagai dasar, bukan hambatan. Pembangunan yang mengorbankan lingkungan adalah pembangunan yang menghancurkan masa depan. Prinsip ini meminjam istilah Newell & Mulvaney (2013) disebut just ecological transition, perlu diterapkan untuk memastikan beban ekologis tidak ditimpakan pada masyarakat kecil.

Paradoks pembangunan Maluku Utara seharusnya tidak hanya memenuhi keserakahan oligarki atau korporasi global, tetapi juga memulihkan relasi masyarakat dengan ruang hidupnya.

Akhirnya, Trans Kieraha bukan jalan perubahan, tapi jalan ekonomi ekstraktif yang ujungnya memberi andil lahirnya kemiskinan struktural dan kultural. Masa depan Pulau Halmahera bukan disini, tapi pada pilihan adanya ruang hidup rakyat yang bermartabat. Sebab pembangunan adalah soal masa depan bersama, dan masa depan itu hanya layak diperjuangkan jika ia adil, lestari, dan berpihak pada rakyat. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *